Muhammad al-Fatih,


One Man Has Made a Difference, Can We?!
When he died, he was preparing to take a vast army into Italy to capture Rome. That he would have succeeded no one at the time doubted. Had he lived another 20 years, Christian Europe would have been no more (John Freely – The Grand Turk: Sultan Mehmet II – Conqueror of Constantinople, Master of an Empire and Lord of Two Seas)










Saat hari itu terjadi, Sixtus IV sedang bersiap-siap untuk menempuh perjalanan panjang-melelahkan dari Roma menuju Avignon, sebuah kota yang terletak di sebelah tenggara Prancis untuk menyelamatkan dirinya, dan meninggalkan ratusan ribu penduduk di Roma yang berdoa-tanpa-henti di kapel dan gereja mereka. Paus berencana akan meninggalkan ummatnya di kota Roma yang seolah berusaha menamatkan kengerian yang membuncah dalam benak mereka dan menahan gemetar tubuhnya, seluruh penduduk Roma berlutut dan berdoa pada tuhannya. Mereka tahu betul, pasukan yang teramat besar telah disiapkan untuk menuju ke kediaman mereka. Pasukan didikan langit yang telah membebebaskan Konstantinopel, dan tentunya akan segera membebaskan Roma. 

Pada penaklukan kali itu Muhammad al-Fatih tidak merasa seperti biasanya. Fisiknya yang selalu membaik manakala ia berangkat untuk berjihad tidak menunjukkan tanda-tanda demikian, malahan penyakit yang dideritanya bertambah parah. Namun semua itu tidak menghalanginya untuk menggenapi sabda suci Rasulullah saw.
Pasukan yang paling istimewa telah disiapkan untuk membebaskan Roma. Tapi ternyata Allah berkehendak lain, Allah berkehendak untuk membagi dua pahala pembebasan yang telah terjanjikan itu. Muhammad al-Fatih menutup usianya dalam kondisi bersiap untuk membuka Roma pada tahun 1481.
Al-Fatih meninggal pada umur 49 tahun. Dan tidak dipungkiri bahwa lelaki inilah yang diklaim oleh dunia kristen sebagai “musuh paling berbahaya yang pernah dihadapi”. Kata-kata ini adalah sebuah gambaran bagaimana secara konstan selama 30 tahun al-Fatih melakukan perang secara kontinyu untuk membebaskan Eropa terutama Roma.
Ketika mendengar kabar kematian Muhammad al-Fatih, segera Paus dengan sukacita menggelar perayaan atas kabar itu, pengirim pesannya bahkan dimuliakan, dan masyarakat Roma tenggelam dalam eforia hanya karena kematian 1 orang laki-laki muslim. Gereja pun diperintahkan membunyikan belnya selama 3 hari berturut-turut atas alasan yang sama. Bahkan tradisi itu berlangsung sampai sekarang.

Coba kita fikirkan baik-baik:
Ada satu masa, dimana semua orang betul-betul  percaya bahwa Roma akan takluk oleh Islam.  Ada satu saat,    dimana seluruh dunia sangat-sangat menyegani kaum muslim.  Ada satu waktu, dimana 3 benua dan 2 samudera benar-benar disatukan oleh Khilafah Islam

Tapi sayangnya kita hidup dalam suasana yang sebaliknya, justru kaum muslim saat ini tidak bisa membayangkan hal seperti ini, jangankan takluknya Konstantinopel, kembalinya Khilafah saja terkadang menjadi perdebatan di kalangan muslim masakini.
Bagaimanapun, Muhammad al-Fatih adalah manusia biasa yang memiliki batas waktu. Pecapaiannya dalam penaklukan Konstantinopel bukan penaklukan biasa, yang menandakan bahwa penaklukan Roma pun akan dilakukan pleh kualitas muslim yang bukan biasa dan cara yang juga bukan biasa.
Inilah simbolisme ketakutan dunia barat pada seorang Muhammad al-Fatih. Ketakutan mereka pada Islam dan kaum muslimin yang bersatu dalam Khilafah. Subhanallah..
Bila saja saya bisa menyampaikan kepada Paus Sixtus IV pada masa lalu, maka inilah yang akan saya sampaikan padanya: “Om, jangan terburu-buru untuk merayakan kemenangan, sesungguhnya orang yang wafat itu bukanlah al-Fatih yang terakhir. Tidak ada yang berubah pada janji Rasulullah kecuali hanya penakluknya saja!”
Simak pengakuan penulis John Freely dalam bukunya:
Sesaat sebelum wafatnya, dia sedang mempersiapkan untuk mengomando tentara yang sangat besar untuk menaklukkan Roma. Perkara bahwa dia akan berhasil melakukannya tidak pernah diragukan orang yang hidup pada zaman itu. Bila saja dia hidup 20 tahun lebih panjang, tentunya tidak ada lagi Eropa dengan Kristianinya( Conqueror of Constantinople, Master of an Empire and Lord of Two Seas)

One man can really make a difference isn’t it..,Not only in his life, even in his death, he can make a difference.. Can we?

Satu orang benar-benar dapat membuat perbedaan bukan .., Tidak hanya dalam hidupnya, bahkan dalam kematiannya, dia bisa membuat perbedaan .. Bisakah kita?

dikutip dari: ustadz Felix Siauw


0 komentar:

cerdas tanpa batas

Curious Science . Diberdayakan oleh Blogger.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More
Thanks to Business Opportunity, Highest CD Rates and Registry Software