Abu Dzar al-Ghifari


Pada hari ini tepat 1411 tahun yang lalu wafatnya seorang sahabat Rasulullah yang bernama Abu Dzar al-Ghifarri.

Bani Ghifar adalah qabilah Arab suku badui yang tinggal di pegunungan yang
jauh dari peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini terkenal
sebagai gerombolan perampok yang senang berperang dan menumpahkan darah
serta pemberani. Bani Ghifar terkenal juga sebagai suku yang tahan
menghadapi penderitaan dan kekurangan serta kelaparan. Latar belakang
tabi’at kesukuan, apakah itu tabiat yang baik ataukah tabi’at yang jelek,
semuanya terkumpul pada diri Abu Dzar.


Abu Dzar al-Ghifari
Nama lengkapnya yang mashur ialah Jundub bin Junadah Al Ghifari dan terkenal
dengan kuniahnya Abu Dzar. Di suatu hari tersebar berita di kampung Bani
Ghifar, bahwa telah muncul di kota Makkah seorang yang mengaku sebagai
utusan Allah dan mendapat berita dari langit. Serta merta berita ini sangat
mengganggu penasaran Abu Dzar, sehingga dia mengutus adik kandungnya bernama
Unais Al Ghifari untuk mencari berita ke Makkah. Unais sendiri adalah
seorang penyair yang sangat piawai dalam menggubah syair-syair Arab.
Berangkatlah Unais ke Makkah untuk mencari tau apa sesungguhnya yang terjadi
di Makkah berkenaan dengan berita kemunculan utusan Allah itu. Dan setelah
beberapa lama, kembalilah Unais kekampungnya dan melaporkan kepada Abu Dzar
tentang yang dilihat dan didengar di Makkah berkenaan dengan berita
tersebut. Ditanyakan oleh Abu Dzar kepada Unais : “Apa yang telah kamu
lakukan ?”, tanyanya. Unais menjelaskan : “Aku sungguh telah menemui seorang
pria yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang jelek”.

Abu Dzar bertanya lagi : “Apa yang dikatakan orang-orang tentangnya ?”.
Unais menjawab : “Orang-orang mengatakan, bahwa dia adalah tukang sya’ir,
tukang tenung, dan tukang sihir. Tetapi aku sesungguhnya telah biasa
mendengar omongan tukang tenung, dan tidaklah omongannya serupa dengan
omongan tukang tenung. Dan aku telah membandingkan omongan darinya dengan
omongan para tukang sya’ir, ternyata amat berbeda omongannya dengan
bait-bait sya’ir. Demi Allah, sesungguhnya dia adalah orang yang benar
ucapannya, dan mereka yang mencercanya adalah dusta”.

Mendengar laporan dari Unais itu, Abu Dzar lebih penasaran lagi untuk
bertemu sendiri dengan orang yang berada di Makkah yang mengaku telah
mendapatkan berita dari langit itu. Segeralah dia berkemas untuk berangkat
menuju Makkah, demi menenangkan suara hatinya itu. Dan sesampainya dia di
Makkah, langsung saja menuju Ka’bah dan tinggal padanya sehingga bekal yang
dibawanya habis. Dia sempat bertanya kepada orang-orang Makkah, siapakah
diantara kalian yang dikatakan telah meninggalkan agama nenek moyangnya ?
Orang-orangpun segera menunjukkan kepada Abu Dzar, seorang pria yang ganteng
putih kulitnya dan bersinar wajahnya bak bulan purnama. Abu Dzar memang amat
berhati-hati, dalam kondisi hampir seluruh penduduk Makkah memusuhi dan
menentang Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Dan orangpun
di Makkah dalam keadaan takut dan kuatir untuk mendekat kepada beliau
sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam, karena siapa yang mendekat kepadanya
bila dia adalah dari kalangan budak belian, akan menghadapi hukuman berat
dari tuannya. Demikian pula bila dari kalangan pendatang dan tidak mempunyai
qabilah pelindungnya di Makkah. Demi keadaan yang demikian mencekam, Abu
Dzar tidak gegabah berbicara dengan semua orang dalam hal apa yang sedang
dicarinya dan apa yang diinginkannya.

Dia hanya menanti dan menanti di Ka’bah, dalam keadaan semua perbekalannya
telah habis. Dia berusaha mengatasi rasa lapar yang mengganggu perutnya
dengan minum air zam-zam dan tidak ada makanan lain selain itu. Demikian
terus suasana penantian itu berlangsung selama tiga puluh hari dan perut Abu
Dzar selama itu tidak kemasukan apa-apa kecuali hanya air zam-zam. Ini
sungguh sebagai karamah air zam-zam, karena nyatanya Abu Dzar badannya
serasa semakin gemuk selama tiga puluh hari itu. Apa sesungguhnya yang
dinantinya ? yang dinantinya hanyalah kesempatan menemui dan berdialog
langsung dengan pria ganteng berwajah bulan purnama itu, untuk mengetahui
darinya langsung agama apa sesungguhnya yang dibawanya. Dia setiap harinya
terus menerus mengamati tingkah laku pria ganteng tersebut dan sikap
masyarakatnya yang anti pati terhadapnya.

Di suatu hari yang cerah, Abu Dazar bernasib baik. Sedang dia berdiri di
salah satu pojok Ka’bah, lewat di hadapan beliau Ali bin Abi Thalib dan
langsung menegurnya, apakah engkau orang pendatang di kota ini ? Segera saja
Abu Dzar menjawabnya : Ya ! Maka Ali bin Abi Thalib menyatakan kepadanya :
Kemarilah ikut ke rumahku. Maka Abu Dzarpun pergi kerumah Ali untuk dijamu
sebagai tamu. Dia tidak tanya kepada tuan rumah dan tuan rumahpun tidak
tanya kepadanya tentang tujuannya datang ke kota Makkah. Dan setelah dijamu,
Abu Dzarpun kembali ke Ka’bah tanpa bercerita panjang dengan tuan rumah.
Tapi Ali bin Abi Thalib melihat pada gurat wajah tamunya, ada sesuatu
keperluan yang sangat dirahasiakannya. Sehingga ketika esok harinya, Ali
berjumpa lagi dengan tamunya di Ka’bah dan segera menanyainya : “Apakah hari
ini anda akan kembali ke kampung ?”. Abu Dzar menjawab dengan tegas : “Belum
!”. Mendapat jawaban demikian, Ali tidak tahan lagi untuk menanyainya : “Apa
sesungguhnya urusanmu, dan apa pula yang mendatangkanmu ke mari ?”. Dan Abu
Dzarpun terperangah mendapat pertanyaan demikian dari satu-satunya orang
Quraisy yang telah menjamunya dan mengakrabkan dirinya dengan tamu asing
ini. Tetapi Abu Dzar tidak lagi merasa asing dengan orang yang menjamunya
ini, sehingga mendapat pertanyaan demikian langsung saja dia balik
mengajukan syarat bernada tantangan : “Bila engkau berjanji akan
merahasiakan jawabanku, aku akan menjawab pertanyaanmu”. Langsung saja Ali
menyatakan janjinya : “Aku berjanji untuk menjaga rahasiamu”. Dan Abu Dzar
tidak ragu lagi dengan janji pemuda Quraisy yang terhormat ini, sehingga
dengan setengah berbisik dia menjelaskan kepada Ali : “Telah sampai kepada
kami berita, bahwa telah keluar seorang Nabi”. Mendengar kata-kata Abu Dzar
itu Ali menyambutnya dengan gembira dan menyatakan kepadanya : “Engkau
sungguh benar dengan ucapanmu ?! ikutilah aku kemana aku berjalan dan
masuklah ke rumah yang aku masuki. Dan bila aku melihat bahaya yang
mengancammu, maka aku akan memberi isyarat kepadamu dengan berdiri mendekat
ke tembok dan aku seolah-olah sedang memperbaiki alas kakiku. Dan bila aku
lakukan demikian, maka segera engkau pergi menjauh”. Maka Abu Dzarpun
mengikuti Ali kemanapun dia berjalan, dan dengan tidak mendapati halangan
apa-apa, akhirnya dia sampai juga di hadapan Rasulullah sallallahu alaihi wa
aalihi wasallam dan langsung menanyakan kepada beliau. Inilah saat yang
paling dinanti oleh Abu Dzar dan ketika Rasulullah menawarkan Islam
kepadanya, segera Abu Dzar menyatakan masuk Islam dituntun Nabi Muhammad
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dengan mengucapkan dua kalimah
syahadat. Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam berwasiat
kepadanya : “Wahai Aba Dzar, sembunyikanlah keislamanmu ini, dan pulanglah
ke kampungmu !, maka bila engkau mendengar bahwa kami telah menang, silakan
engkau datang kembali untuk bergabung dengan kami”.

Mendengar wasiat tersebut Abu Dzar menegaskan kepada Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wa sallam: “Demi yang Mengutus engkau dengan kebenaran,
sungguh aku akan meneriakkan di kalangan mereka bahwa aku telah masuk
Islam”. Dan Rasulullah mendiamkan tekat Abu Dzar tersebut.

Segera saja Abu dzar menuju Masjidil Haram dan di hadapan Ka’bah banyak
berkumpul para tokoh-tokoh kafir Quraisy. Demi melihat banyaknya orang
berkumpul padanya, Abu Dzar berteriak dengan sekeras- keras suara dengan
menyatakan : “Wahai orang-orang Quraisy, aku sesungguhnya telah bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku bersaksi pula
Muhammad itu adalah hamba dan utusan Allah”.

Mendengar omongan itu, para dedengkot kafir Quraisy marah besar dan mereka
berteriak memerintahkan orang-orang di situ : “Bangkitlah kalian, kejar
orang murtad itu”. Maka segera orang-orang mengerumuni Abu Dzar sembari
memukulinya dengan nafsu ingin membunuhnya. Syukurlah waktu itu masih ada Al
Abbas bin Abdul Mutthalib tokoh Bani Hasyim paman Rasulillah yang disegani
kalangan Quraisy. Sehingga Al Abbas berteriak kepada masyarakat yang sedang
beringas memukuli Abu Dzar : “Celakalah kalian, apakah kalian akan membunuh
seorang dari kalangan Bani Ghifar yang kalian harus melalui kampungnya di
jalur perdagangan kalian”. Demi masyarakat mendapat teriakan demikian,
merekapun melepaskan Abu Dzar yang telah babak belur bersimbah darah akibat
dari pengeroyokan itu. Demikianlah Abu Dzar, sosok pria pemberani yang bila
meyakini kebenaran sesuatu perkara, dia tidak akan peduli menyatakan
keyakinannya di hadapan siapapun meskipun harus menghadapi resiko seberat
apapun. Dan apa yang dihadapinya hari ini, tidak menciutkan nyalinya untuk
mengulang proklamasi keimanannya di depan Ka’bah menantang para dedengkot
kafir Quraisy. Keesokan harinya dia mengulangi proklamasi keimanan yang
penuh keberanian itu, dan teriakan syahadatainnya menimbulkan kembali
berangnya para tokoh kafir Quraisy. Sehingga mereka memerintahkan untuk
mengeroyok seorang Abu Dzar untuk kedua kalinya. Dan untuk kedua kalinya
ini, Al Abbas berteriak lagi seperti kemarin dan Abu Dzarpun dilepaskan oleh
masa yang sedang mengamuk itu dalam keadaan babak belur bersimbah darah
seperti kemaren.

Setelah dia puas membikin marah orang-orang kafir Quraisy dengan proklamasi
masuk Islamnya, meskipun dia harus beresiko hampir mati dikeroyok masa.
Barulah dia bersemangat melaksanakan wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa
aalihi wa sallam untuk pulang ke kampungnya di kampung Bani Ghifar. Abu Dzar
pulang ke kampungnya, dan di sana dia rajin menda’wahi keluarganya. Unais Al
Ghifari, adik kandungnya, telah masuk Islam, kemudian disusul ibu kandungnya
yang bernama Ramlah bintu Al Waqi’ah Al Ghifariah juga masuk Islam. Sehingga
separoh Bani Ghifar telah masuk Islam. Adapun separoh yang lainnya, telah
menyatakan bahwa bila Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam
telah hijrah ke Madinah maka mereka akan masuk Islam. Maka segera saja
mereka berbondong-bondong masuk Islam setelah sampainya berita di kampung
mereka bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam telah hijrah
ke Al Madinah An Nabawiyah.
Hijrah Ke Al Madinah :

Dengan telah masuk Islamnya seluruh kampung Bani Ghifar, dan setelah
peperangan Bader dan Uhud dan Khandaq, Abu Dzar bergegas menyiapkan dirinya
untuk berhijrah ke Al Madinah dan langsung menemui Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam di masjid beliau. Dan sejak itu Abu Dzar
berkhidmat melayani berbagai kepentingan pribadi dan keluarga Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia tinggal di Masjid Nabi dan selalu
mengawal dan mendampingi Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kemanapun
beliau berjalan. Sehingga Abu Dzar banyak menimba ilmu dari Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Sehingga Rasulullah sallallahu alaihi
wa aalihi wasallam sangat mencintainya dan selalu mencari Abu dzar di setiap
majlis beliau dan beliau menyesal bila di satu majlis, Abu Dzar tidak hadir
padanya. Sehingga beliau menanyakan, mengapa dia tidak hadir dan ada
halangan apa.

Begitu dekatnya Abu Dzar dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam, dan begitu sayangnya beliau kepada Abu Dzar, sehingga disuatu hari
pernah Abu Dzar meminta jabatan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa
aalihi wa sallam. Maka beliau langsung menasehatinya :

(tulis hadisnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad 3 / 164)
“Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu
adalah amanah, dan sesungguhnya jabatan itu akan menjadi kehinaan dan
penyesalan bagi orang yang menerima jabatan itu, kecuali orang yang
mengambil jabatan itu dengan cara yang benar dan dia menunaikan amanah
jabatan itu dengan benar pula”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya.

Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam pernah berpesan kepadanya :
(tulis haditsnya di kitab Hilyatul Auliya’ 1 / 162)

“Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang shaleh, sungguh engkau akan
ditimpa berbagai mala petaka sepeninggalku”. Maka Abu Dzarpun bertanya :
Apakah musibah itu sebagai ujian di jalan Allah ?”, Rasulullahpun menjawab :
“Ya, di jalan Allah”. Dengan penuh semangat Abu Dzarpun menyatakan :
“Selamat datang wahai mala petaka yang Allah taqdirkan”. HR. Abu Nu’aim Al
Asfahani dalam kitab Al Hilyah jilid 1 hal. 162.

Asma’ bintu Yazid bin As Sakan menceritakan, bahwa di suatu hari Abu Dzar
setelah menjalankan tugas kesehariannya melayani Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam, dia beristirahat di masjid, dan memang tempat
tinggalnya di masjid. Maka masuklah Nabi sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam ke masjid dan mendapati Abu Dzar dalam keadaan sedang tiduran
padanya. Maka Rasulullah meremas jari jemari telapak kakinya dengan telapak
kaki beliau, sehingga Abu Dzarpun duduk dengan sempurna. Rasulullah
menanyainya : Tidakkah aku melihat engkau tidur ?. Maka dia menjawab :
Dimana lagi aku bisa tidur, apakah ada rumah bagiku selain masjid ? Maka
Rasulullahpun duduk bersamanya, kemudian beliau bertanya kepadanya : Apa
yang akan engkau lakukan bila engkau diusir dari masjid ini ?. Abu Dzar
menjawabnya : Aku akan pindah ke negeri Syam, karena Syam adalah negeri
tempat hijrah, dan negeri hari kebangkitan di padang mahsyar, dan negeri
para Nabi, sehingga aku akan menjadi penduduk negeri itu. Kemudian Nabi
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bertanya lagi kepadanya : Bagaimana
pula bila engkau diusir dari negeri Syam ? Maka Abu Dzar menjawab : Aku akan
kembali ke Masjid ini dan akan aku jadikan masjid ini sebagai rumahku dan
tempat tinggalku. Kemudian Nabi bertanya lagi : Bagaimana kalau engkau
diusir lagi dari padanya ? Abu Dzar menjawab : Kalau begitu aku akan
mengambil pedangku dan aku akan memerangi pihak yang mengusirku sehingga aku
mati. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tersenyum kecut
mendengar jawaban Abu Dzar itu dan beliau menyatakan kepadanya : Maukah aku
tunjukkan kepadamu yang lebih baik darinya ? Segera saja Abu Dzar menyatakan
: Tentu, demi bapakku dan ibuku wahai Rasulullah. Maka beliaupun menyatakan
kepadanya : “Engkau ikuti penguasamu, kemana saja dia perintahkan kamu,
engkau pergi kemana saja engkau digiring oleh penguasamu, sehingga engkau
menjumpaiku (yakni menjumpaiku di alam qubur) dalam keadaan mentaati
penguasamu itu”. HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 6 hal. 457.

Disamping berbagai wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam
tersebut, dirwayatkan pula pujian dari Nabi sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam kepada Abu Dzar sebagai berikut ini :

(tulis haditsnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad jilid 3 hal. 161).
“Tidak ada makhluq yang berbicara di kolong langit yang biru dan yang
dipikul oleh bumi, yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar”. HR. Ibnu Sa’ad
dalam Thabaqatnya jilid 3 hal 161, juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam
Sunannya, hadits ke 3801 dari Abdullah bin Amer radhiyallahu ‘anhuma.

Abu Dzar berjuang sendirian :
Setelah wafatnya Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, Abu Dzar
cenderung menyendiri. Tampak benar kesedihan pada wajahnya. Dia adalah orang
yang keras, tegas, pemberani, dan sangat kuat berpegang dengan segenap
ajaran Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam disamping
kebenciannya kepada segala bentuk kebid’ahan (yakni segala penyimpangan dari
ajaran Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam). Dia adalah orang yang
penyayang terhadap orang-orang lemah dari kalangan faqir dan miskin. Karena
dia terus-menerus berpegang dengan wasiat Nabi sebagaimana yang beliau
ceritakan : (artinya) “Telah berwasiat kepadaku orang yang amat aku cintai
(Yakni Rsaulullah) dengan tujuh perkara : Beliau memerintahkan aku untuk
mencintai orang-orang miskin dan mendekati mereka, dan beliau memerintahkan
aku untuk selalu melihat keadaan orang yang lebih menderita dariku. Beliau
memerintahkan kepadaku juga untuk aku tidak meminta kepada seseorangpun
untuk mendapatkan keperluanku sedikitpun, dan aku diperintahkan untuk tetap
menyambung silaturrahmi walaupun karib kerabatku itu memboikot aku. Demikian
pula aku diperintahkan untuk mengucapkan kebenaran walaupun serasa pahit
untuk diucapkan, dan aku tidak boleh takut cercaan siapapun dalam
menjalankan kebenaran. Aku dibimbing olehnya untuk selalu mengucapkan la
haula wala quwwata illa billah (yakni tidak ada daya upaya dan tidak ada
kekuatan kecuali dengan bantuan Allah), karena kalimat ini adalah simpanan
perbendaharaan yang diletakkan di bawah Arsy Allah”. HR. Ahmad dalam
Musnadnya jilid 5 hal. 159.

Abu Dzar mempunyai pendapat yang dirasa ganjil oleh banyak orang yang hidup
di zamannya, tetapi mereka tidak bisa membantahnya. Diriwayatkan oleh Al
Ahnaf bin Qais sebuah kejadian yang menunjukkan betapa berbedanya Abu Dzar
dari yang lainnya, kata Al Ahnaf : “Aku pernah masuk kota Al Madinah di
suatu hari. Ketika itu aku sedang duduk di suatu halaqah (ya’ni duduk
bergerombol dengan formasi duduknya melingkar) dengan orang-orang Quraisy.
Tiba-tiba datanglah ke halaqah itu seorang pria yang compang camping
bajunya, badannya kurus kering, dan wajahnya menunjukkan kesengsaraan hidup,
dan orang inipun berdiri di hadapan mereka seraya berkata : Beri kabar
gembira bagi orang-orang yang menyimpan kelebihan hartanya, dengan ancaman
adzab Allah berupa dihimpit batu yang amat panas karena batu itu dibakar
diatas api, dan batu itupun diletakkan di dadanya sehingga sampai tenggelam
padanya sehingga batu panas itu keluar dari pundaknya. Dan juga diletakkan
batu panas itu di tulang pundaknya sehingga keluar di dadanya, demikian
terus sehingga batu panas itu naik turun antara dada dan tulang pundaknya.

Mendengar omongan orang ini, hadirin yang ada di halaqah itu menundukkan
kepalanya. Maka aku melihat, tidak ada seorangpun yang menyapanya dari
hadirin yang duduk di halaqah itu. Sehingga orang itupun segera meninggalkan
halaqah tersebut dan duduk menjauh daripadanya . Maka akupun bertanya kepada
yang hadir di halaqah itu : Siapakah dia ini ?, mereka menjawab : Dia adalah
Abu Dzar.

Demi aku melihat keadaan demikian, akupun mendatangi tempat dia duduk
menyendiri dan akupun duduk dihadapannya dan aku katakan kepadanya : Aku
melihat, mereka yang duduk di halaqah itu tidak suka dengan apa yang engkau
ucapkan.

Abu Dzarpun menyatakan : Mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengerti
sama sekali. Sesungguhnya kekasihku Abul Qasim (yakni Nabi Muhammad)
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam pernah memanggil aku dan akupun segera
memenuhi panggilan beliau. Maka beliaupun menyatakan kepadaku : Engkau lihat
gunung Uhud itu ?!.

Aku melihat gunung itu dalam keadaan diterpa oleh sinar matahari pada
punggungnya, dan aku menyangka beliau akan menyuruh aku untuk suatu
keperluan padanya. Maka aku menjawab pertanyaan beliau : Aku melihatnya.

Kemudian beliaupun bersabda : Tidaklah akan menyenangkan aku kalau
seandainya aku punya emas sebesar itu, kecuali bila aku shodaqahkan semuanya
sehingga tidak tersisa daripadanya kecuali tiga dinar (untuk keperluanku).

Selanjutnya Abu Dzar menyatakan : Tetapi kemudian mereka itu kenyataannya
selalu mengumpulkan dunia, mereka tidak mengerti sama sekali.

Aku katakan kepadanya : Ada apa antara engkau dengan saudara-saudarmu dari
kalangan orang-orang Quraisy. Mengapa engkau tidak minta bantuan dari mereka
sehingga engkau mendapatkan sebagian harta mereka.

Abu Dzar menjawab dengan tegas dan lantang : Tidak ! Demi Tuhanmu, aku tidak
akan meminta dunia sedikitpun kepada mereka dan aku tidak akan minta fatwa
dari mereka tentang agama, sehingga aku mati bergabung dengan Allah dan
RasulNya”.

Demikian diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 1407 – 1408
dan Muslim dalam Shahihnya hadits ke 992 / 34 – 35.

Abu Dzar sangat keras dengan pendiriannya. Dia berpendapat bahwa menyimpan
harta yang lebih dari keperluannya itu adalah haram. Sedangkan keumuman para
Shahabat Nabi berpendapat, bahwa boleh menyimpan harta dengan syarat bahwa
harta itu telah dizakati (yakni dikeluarkan zakatnya). Bahkan Abu Dzar
menjauh dari para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam yang
mulai makmur hidupnya karena menjabat jabatan di pemerintahan. Hal ini
diceritakan oleh Abu Buraidah sebagai berikut :

“Ketika Abu Musa Al Asy’ari datang ke Madinah, dia langsung menemui Abu
Dzar. Maka Abu Musa berusa merangkul Abu Dzar, padahal Abu Musa adalah
seorang pria yang kurus dan pendek. Sedangkan Abu Dzar adalah seorang pria
yang hitam kulitnya dan lebat rambutnya. Maka ketika Abu Musa berusaha
merangkulnya, dia mengatakan : Menjauhlah engkau dariku !!

Abu Musa mengatakan kepadanya : Marhaban wahai saudaraku.
Abu Dzarpun menyatakan kepadanya sambil mendorongnya untuk menjauh darinya :
“Aku bukan saudaramu, dulu memang aku saudaramu sebelum engkau menjabat
jabatan di pemerintahan”.

Selanjutnya Abu Buraidah menceritakan : Kemudian setelah itu datanglah Abu
Hurairah menemuinya. Juga Abu Hurairah berusaha merangkulnya dan menyatakan
kepadanya : Marhaban wahai saudaraku.

Abu Dzar menyatakan kepadanya : Menjauhlah engkau dariku, apakah engkau
menjabat satu jabatan dalam pemerintahan ?

Abu Hurairah menjawab : Ya, aku menjabat jabatan dalam pemerintahan.
Abu Dzar selanjutnya menanyainya : Apakah engkau berlomba-lomba membangun
bangunan yang tinggi, atau membikin tanah pertanian, atau hewan piaraan ?

Abu Hurairah menjawab : Tidak.
Maka Abu Dzarpun menyatakan kepadanya : Kalau begitu engkau saudaraku,
engkau saudaraku”. Demikian diriwayatkan kisah ini oleh Ibnu Sa’ad dalam
Thabaqatnya jilid 3 halaman 163.

Sikap Abu Dzar yang demikian keras, karena amat kuat berpegang dengan wasiat
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepadanya :

(tulis haditsnya dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad jilid 3 hal. 162)
“Orang yang paling dekat diantara kalian dariku di hari kiamat, adalah yang
keadaan hidupnya ketika meninggal dunia, seperti keadaannya ketika aku
meninggalkannya untuk mati”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya jilid 3 hal.
162.

Abu Dzar keadaannya ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam
meninggal dunia, ialah sangat melarat. Dia ingin mempertahankan kondisi
melarat itu ketika dia meninggal dunia nanti, karena ingin mendapatkan
posisi yang paling dekat dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam di hari kiamat kelak.

Meninggal dunia di tempat pengasingan :
Dengan sikap hidup yang demikian, Abu Dzar tidak punya teman dari kalangan
sesama para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia pernah
tinggal di negeri Syam di zaman pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu
anhu. Waktu itu gubernur negeri Syam adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan
radhiyallahu anhu. Maka Mu’awiyah merasa terganggu dengan sikap hidupnya,
sehingga meminta kepada Amirul Mu’minin Utsman bin Affan untuk memanggilnya
ke Madinah kembali. Abu Dzar akhirnya dipanggil kembali ke Madinah oleh
Utsman dan tentu dia segera menta’ati panggilan itu. Sesampainya di Madinah
segera saja Abu Dzar menghadap Amirul Mu’minin Utsman bin Affan. Abu Dzar
diberi tahu oleh Amirul Mu’minin bahwa dia dikehendaki untuk tinggal di
Madinah menjadi orang dekatnya Amirul Mu’minin Utsman. Mendengar penjelasan
itu Abu Dzar menegaskan kepada beliau : “Wahai Amirul Mu’minin, aku tidak
senang dengan posisi demikian. Izinkanlah aku untuk tinggal di daerah
perbukitan Rabadzah di luar kota Madinah”.

Maka Amirul Mu’mininpun mengizinkannya dan memerintahkan untuk membekali Abu
Dzar dengan beberapa ekor ternak dan budak belian untuk membantunya. Tetapi
Abu Dzar menolaknya dengan menyatakan kepada beliau : “Cukuplah bagi Abu
Dzar, beberapa ekor ternak miliknya sendiri”.

Abu Dzar segera berangkat ke Rabadzah, dan di perbukitan tersebut tidak ada
manusia yang tinggal di sana. Dia ingin mengasingkan diri di sana, demi
melihat kebanyakan orang merasa terganggu dengan berbagai ungkapannya dan
pendapatnya. Dia tinggal di tempat pengasingannya dengan anak perempuannya
dan budak wanita miliknya yang hitam dan jelek rupa. Budak wanita itu
dibebaskannya kemudian dinikahinya sebagai istri. Abu Dzar menghabiskan
waktunya untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an. Sesekali dia
turun ke Madinah karena takut tergolong orang yang kembali menjadi badui
setelah hijrah. Yang demikian itu dilarang oleh Rasulullah sallallahu alaihi
wa aalihi wasallam.

Di suatu hari ketika Abu Dzar turun ke Al Madinah, sempat dia berkunjung ke
Amirul Mu’minin dan di sana ada Ka’ab dan Abdullah bin Abbas sedang
membicarakan tentang dibagi-baginya harta warisan Abdurrahman bi A’uf. Maka
Amirul Mu’minin bertanya kepada Ka’ab : Wahai Aba Ishaq, bagaimana menurut
pendapatmu bila harta seseorang itu yang telah ditunaikan zakatnya, apakah
akan menjadi mala petaka bagi yang mengumpulkannya. Maka Ka’ab menjawab :
Bila harta itu adalah kelebihan dari harta yang telah ditunaikan padanya
haqnya Allah (yakni zakat), maka yang demikian itu tidak mengapa.

Mendengar jawaban itu Abu Dzar bangun dari tempat duduknya dan langsung
memukul Ka’ab dengan tongkatnya pada bagian diantara kedua telinganya
sehingga melukainya. Abu Dzar menyatakan kepada Ka’ab : Wahai anaknya
perempuan Yahudi, kamu menganggap tidak ada kewajiban atasnya dalam perkara
hartanya bila dia telah menunaikan zakat atas hartanya. Sedangkan Allah
telah berfirman : (artinya)”Dan mereka lebih mengutamakan saudaranya dari
pada dirinya walaupun menyulitkan dirinya”. S. Al Hasyr 9, juga Allah
berfirman : (artinya)”Mereka kaum Mu’minin itu memberi makan kepada orang
miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”. S. Ad Daher (dinamakan juga S.
Al Insan) ayat ke 8. Dan beberapa ayat lainnya dari Al Qur’an yang semakna
dengan ayat-ayat tersebut, yang merupakan dalil-dalil bagi Abu Dzar atas
pendapatnya bahwa seseorang itu dianggap belum menunaikan kewajibannya atas
hartanya bila dia belum menghabiskannya untuk shadaqah, kecuali
meninggalkannya untuk keperluan mendesak bagi keluarganya.

Melihat kejadian itu, Amirul Mu’minin segera menegur Abu Dzar : “Takutlah
engkau kepada Allah wahai Aba Dzar, tahanlah tanganmu dari perbuatan itu dan
tahanlah lesanmu untuk mengucapkan ucapan sekeras itu kepada saudaramu”.
Juga Amirul Mu’minin meminta kepada Ka’ab untuk memaafkan Abu Dzar dan tidak
menuntut hukum qishas (yakni hukum balas) atas Abu Dzar dengan tindakannya
melukai kepala beliau. Dan Ka’abpun akhirnya memaafkannya.

Abu Dzar kembali ketempat pengasingannya di Rabadzah dengan penuh kekecewaan
dan kemarahan. Dia semakin senang untuk menyendiri dan semakin rindu untuk
bertemu Allah dan RasulNya. 


Wafatnya Abu Dzar al-Ghifari
Sampailah akhirnya dia menderita sakit ditempat
pengasingannya. Dia hanya ditemani oleh anak istrinya di saat-saat akhir
hidupnya. Tidak ada orang yang tahu bahwa Abu Dzar sedang sakit dan
menderita dengan sakitnya. Bertambah hari tampak bertambah berat penyakit
yang dideritanya. Dalam kondisi demikian, istrinya menangis dihadapannya.
Abu Dzar menegurnya : “Mengapa engkau menangis ?”.

Istrinya menjawab : “Aku menangis karena engkau pasti akan tiada lagi, dalam
keadaan aku tidak punya kain kafan untuk membungkus jenazahmu”.

Maka Abu Dzar menasehati istrinya : “Jangan engkau menangis, karena aku
telah pernah mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam
bersabda di suatu hari dan aku ada di samping beliau bersama sekelompok
orang yang lainnya. Beliau bersabda : “Sungguh salah seorang dari kalian
akan meninggal dunia di padang pasir yang akan disaksikan oleh sekelompok
kaum Mu’minin”.

Kemudian Abu Dzar melanjutkan nasehatnya kepada istrinya : “Ketahuilah
olehmu, semua orang yang hadir bersama aku waktu itu di hadapan Rasulullah,
telah mati semua di kampung dan desanya. Dan tidak tertinggal di dunia ini
dari yang hadir itu kecuali aku. Maka sudah pasti yang akan mati di padang
pasir seperti yang dikabarkan oleh beliau itu adalah aku. Oleh karena itu
sekarang engkau lihatlah ke jalan. Engkau pasti nanti akan melihat apa yang
aku katakan. Aku tidaklah berdusta dan aku tidak didustai dengan berita ini
(yakni pasti engkau akan mendapati sekelompok orang yang akan menyaksikan
peristiwa kematianku seperti yang diberitakan oleh Rasulullah)”.

Istrinya menyatakan kepadanya : “Bagaimana mungkin akan ada orang yang
engkau katakan, sedang musim haji telah lewat ?!”.

Abu Dzar tetap meyakinkan istrinya untuk melihat ke arah jalan : “Lihatlah
jalan !”. Maka istrinya menuruti beliau mengamati jalanan yang ada didepan
Rabadzah. Dan ternyata, ketika si istri sedang mengamati jalan di depan
Rabadzah, apakah ada rombongan yang berlalu padanya, tiba-tiba dilihat
olehnya dari kejauhan serombongan kafilah sedang mendekat ke arah Rabadhah
yang menandakan bahwa mereka akan melewati jalan di depan Rabadzah. Amat
gembira tentunya istri Abu Dzar melihatnya, sehingga rombongan itupun
berhenti didepannya. Orang-orang di rombongan itupun menanyainya : Ada apa
engkau ada di sini ? Maka perempuan itupun menyatakan kepada mereka : “Di
sini ada seorang pria Muslim yang hendak mati, hendaknya kalian
mengkafaninya, semoga Allah membalas kalian dengan pahalaNya”. Maka
merekapun menanyainya : “Siapakah dia ?” Perempuan itu menjawab : “Dia
adalah Abu Dzar”. Mendengar jawaban itu mereka berlarian turun dari
kendaraannya masing-masing menuju gubuknya Abu Dzar. Dan ketika mereka
sampai di gubuk itu, mereka mendapati Abu Dzar sedang terkulai lemas di atas
tempat tidurnya. Tapi masih sempat juga Abu Dzar memberi tahu mereka :
“Bergembiralah kalian, karena kalianlah yang diberitakan Nabi sebagai
sekelompok kaum Mu’minin yang menyaksikan saat kematian Abu Dzar”. Kemudian
Abu Dzar menyatakan kepada mereka : “Kalian menyaksikan bagaimana keadaanku
hari ini. Seandainya jubbahku mencukupi sebagai kafanku, niscaya aku tidak
dikafani kecuali dengannya. Aku memohon kepada kalian dengan nama Allah,
hendaklah janganlah ada yang mengkafani jenazahku nanti seorangpun dari
kalian, orang yang pernah menjabat sebagai pejabat pemerintah, atau tokoh
masyarakat, atau utusan pemerintah untuk satu urusan”.

Semua anggauta rombongan itu adalah orang-orang yang pernah menjabat
berbagai kedudukan itu, kecuali seorang pemuda Anshar, yang menyatakan
kepadanya : “Aku adalah orang yang engkau cari dengan persyaratan itu. Aku
mempunyai dua jubbah dari hasil pintalan ibuku. Satu dari padanya ada di
kantong tas bajuku, sedang yang lainnya ialah baju yang sedang aku pakai
ini”.

Mendengar omongan pemuda Anshar itu Abu Dzar amat gembira, kemudian dengan
serta merta menyatakan kepadanya : “Engkaulah orang yang aku minta
mengkafani jenazahku nanti dengan jubbahmu itu”.

Dengan penuh kegembiraan, Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya, dan
selamat tinggal dunia yang penuh duka dan nestapa ini. Jenazah
Abu Dzar dirawat oleh pemuda Anshar pilihan Abu Dzar, dan segera dishalati
serta dikuburkan oleh rombongan kafilah tersebut di Rabadzah itu.

Anak istri Abu Dzar akhirnya diungsikan dari Rabadzah ke Madinah
sepeninggalnya. Amirul Mu’minin Utsman bin Affan amat pilu mendengar
peristiwa kematian Abu Dzar. Beliau hanya mampu menanggapi berita kematian
itu dengan mengucapkan : “Semoga Allah merahmati Abu Dzar”. Putri Abu Dzar
dimasukkan oleh Utsman bin Affan dalam keluarganya.


dikutip dar berbagai sumber © curious science

0 komentar:

cerdas tanpa batas

Curious Science . Diberdayakan oleh Blogger.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More
Thanks to Business Opportunity, Highest CD Rates and Registry Software